BeberapaPura di Bali memang kaya akan peninggalan situs berumur berabad-abad lamanya.Mungkin salah satunya berada di Pura Ulun Setra Dalem Bajangan terletak di wilayah Desa Nyitdah,Tabanan.Menurut, salah satu keluarga besar pengempon Pura Ulun Setra Dalem Bajangan, I Ketut Nada menyampaikan, oleh badan arkeolog menhir disebut cikal bakal dari lingga yoni. "Dari penelitian sempat dilakukan

Sekilas tentang Pura Besakih Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek Selat Bali. Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya. Beliau berasal dan Hindustan India, oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya sakti sidhi ngucap. Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung Hyang konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG. Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya. Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya. Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya bebanten / sesaji Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik Dewasa Ayu beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age penduduk di kaki gunung Raung dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan. Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi payuk berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi permata utama dan upakara bebanten / sesajen selengkapnya diperciki tirta Pangentas air suci. Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih. Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan. Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu. 1. Pura Pesimpangan Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalannya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi, pura ini merupakan tempat pesimpangan singgah sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung. Lebih lanjut ... 2. Pura Dalem Puri Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari Durga yang dahulu dinamai Pura Dalem Kedewatan. Para umat Hindu yang telah selesai mengadakan Upakara Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih. Lebih rinci ... 3. Pura Manik Mas Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri Saktinya Siwa. Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga Tumpek Uduh. Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan mempersembahkan aturan sepatutnya sebelum ia akan ke Pura Penataran Agung Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya baik di Pura Penataran Agung maupun di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua, bahwa di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke Besakih dengan menunggang kuda, diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas beliau turun, kemudian bersama-sama muspa sembahyang di Pura Manik Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura Penataran Agung Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura Manik Mas sampai ke puncak disebut Telajakan Pura Besakih yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Oleh karenanya pula baik sekali bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan kemudian barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura Penataran Agung sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih ini akan semakin dapat dirasakan serta diresapi. Lebih lanjut ... 4. Pura Bangun Sakti Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan Hyang NagaTaksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan Ngusaba Posya pada hari Tilem sasih keenem. Di pura inilah konon Danghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah beberapa lamanya wafat akibat kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih. Lebih lanjut ... 5. Pura Ulun Kulkul Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul kentongan besar terdapat di pura ini dan dipandang sebagai kulkul yang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau krama pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut. Adapun piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan, sedang pada setiap hari tilem ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan aci sarin tahun. Aci Pengurip Bumi dimaksudkan untuk memohon agar semua tanam-tanaman baik di sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang dinamakan aci sarin tahun. Jika ada Upakara-upakara Yadnya di Pura ini dan di Pura Penataran Agung, maka semua bangunan Pelinggih yang terdapat di dalamnya harus dihias dengan pengangge-pengangge sarwa jenar atau hiasan serba kuning. Lebih lanjut ... 6. Pura Merajan Selonding Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan jalan raya terdapat Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwa Bhagawan Narada mengajarkan para pertapa menabuh gamelan dengan gamelan Selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradatapa. Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Keliwon Warigadian. Lebih lanjut ... 7. Pura Goa Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan susu, madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung, sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah, salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih. Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu. Lebih jelas lagi ... 8. Pura Banua Kawan Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih. Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih, artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup. Lanjutannya ... 9. Pura Merajan Kanginan Letaknya di sebelah timur Banua Kawan, yaitu di ujung timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau tumpek Kerulut. Menurut ceritera-ceritera yang pernah didengar oleh para orang-orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih. Lebih lanjut ... 10. Pura Hyang Haluh Pura Jenggala Dari Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak agak jauh ke dalam dan kemudian membelok ke utara akan kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan sebagai Kahyangan Prajapati. Hal ini bisa dimengerti karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra Agung. Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai seorang resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih. Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih, ada yang mengatakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker. Lebih lanjut 11. Pura Basukihan Di kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung, terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu tingkat tujuh. Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya. Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem. Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat, Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh, pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu. Lebih detil ... 12. Pura Penataran Agung Di sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh. Denah pura Penataran Agung Besakih diuraikan habis, di sini... 13. Pura Batu Madeg Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat. Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima. Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini. Bebaturan linggih Bhatara Batudinding. Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh. Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg Hyang Wisnu. Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan bendungan besar dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya. Bale Tegeh Palinggih Lingga. Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu. Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur. Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur. Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar. Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam. Lebih lanjut ... 14. Pura Batu Kiduling Kreteg Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa. Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di Pura Kiduling Kreteg antara lain Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara Agung Sakti. Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus Bayusan. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Swa. Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Soha. Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi. Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi. Bale Pesamuan Agung. Bale Agung. Bale Pegat. BalePawedaan. Bebaturan. Bale Tegeh. Bebaturan. Panggungan. Bale Gambang. Bale Gong. Candi Bentar. Bale Pesambiyangan. Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen pelinggih berwarna merah. 15. Pura Gelap Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan, terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo. Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih. Lebih lanjut ... 16. Pura Pengubengan Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu Rerainan kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu. 17. Pura Batu Tirtha Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan. Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu. 18. Pura Batu Peninjoan Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti Padangbai - Karangasem. Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu. 19. Komplek Pedarman Denah pedarman

KebanyakanPura Dalem yang selain bagian Kahyangan Tiga merupakan bagian dari sejarah penguasa pada masa lampau. Seperti diketahui, gelar 'Dalem' adalah gelar bagi bangsawan yang secara umum berasal dari Jawadwipa. Pura Dalem Puri Besakih tergolong pura yang merupakan stana saktinya atau kekuatan magis religiusnya dari Dewa Siwa yang
Pura ini terletak jauh di selatan Pura Penataran Agung. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Dahulu pura ini disebut Pura Dalem Kedewatan. Umat Hindu seusai mengadakan Upakara Pitra Yadnya, yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini untuk mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sebelah Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang disebut Tegal Penangsaran, ditunggui sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah sejarahnya Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain – lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.
Dahulukala pura ini adalah Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang
- Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Pura ini terletak di lereng sebelah barat daya Gunung Agung, gunung tertinggi di Pura Besakih sengaja dipilih di desa yang dianggap suci karena letaknya yang tinggi, yang disebut Hulundang Basukih. Nama tersebut kemudian menjadi nama Desa Besakih. Nama besakih diambil dari Bahasa Sansekerta, yaitu wasuki. Dalam, bahasa Jawa Kuno adalah basuki yang berarti selamat. Pura Besakih sebagai tempat sembahyang umat Hindu. Lokasinya yang strategis dengan pemandangan alam menjadikan tempat ini juga sebagai tempat wisata. Baca juga Basuki Pastikan Penataan Kawasan Pura Besakih Tak Sentuh Area IbadahNama Besakih juga didasari oleh mitologi Naga basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara. Sejarah Pura Besakih Dalam karya ilmiah berjudul Pura Besakih Di antara Legenda dan Sejarah Penguasa Bali, oleh IDG Windhu Sancaya berdasarkan buku berjudul Pura Besakih Pura Agama, dan Masyarakat Bali, karya David J. Stuart Fox, ada beberapa sumber terkait pendirian Pura Besakih yang masih diragukan penulis namun dipercaya masyarakat. HIDAYAT Umat Hindu usai sembahyang di Pura Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, Rabu 5/10/2011. Pura terbesar di Bali yang mengalami perkembangan sejak masa pra-hindu, ini berorientasi ke Gunung Agung yang dianggap sebagai tempat tinggal para dewata. Berdasarkan sumber-sumber tertulis dan cerita rakyat, Sri Kesari Warmadewa, pendiri dinasti Warmadewa yang menguasai Bali selama beberapa abad dipecaya sebagai pendiri pertama kompleks pura di Besakih. Keraguan muncul dari aspek cerita Sri Wira Dalem Kesari Sri Kesari Warmadewa menunjukkan hubungan dengan dinasti Jaya pada abad ke 12, antara 1131 - 1200. Dinasti yang dimaksud adalah Jayasakti, Ragajaya, Jayapangus, dan Ekajaya Lancana. Berdasarkan prasasti Sading, diperkirakan Sri Wira Dalem Kesari adalah nama lain Jayasakti yang memerintahkan Bali pada tahun 1131-1150. Baca juga Kemegahan Pura Besakih di Lereng Gunung Agung
PemangkuPura Dalem Puri, I Gusti Mangku Ngurah Kubayan, Kamis (7/1) kemarin mengungkapkan, pelaksanaan Usaba Pura Dalem Puri dimulai 13 Januri sampai 19 Januari. Untuk 13 Januari dilakukan nedunang ida bhatara, 14-17 Januari katuran ayaban, 18 puncak usaba dan 19 Januari nyineb. "Upacara nyejer selama tujuh hari," ucapnya. Bendesa Adat Pura Besakih, terletak di desa Besakih pada lereng Gunung Agung, sebelah timur Pulau Bali, merupakan Pura yang paling penting bagi masyarakat Bali, Indonesia, dan salah satu dari serangkaian Pura di Bali. Pura Besakih kemungkinan dibangun pada abad keempat belas. Dibangun pada lereng selatan Gunung Agung, gunung berapi terbesar di Bali. Pura Besakih sebenarnya adalah sebuah kompleks yang terdiri dari dua puluh dua Pura yang terletak berjejer di pegunungan. Pura Besakih memiliki teras yang bertingkat dan tangga yang naik ke beberapa halaman, dan pintu masuk yang mengarah ke struktur Meru puncak menara utama, yang disebut Pura Penataran Agung. Semua ini sejajar sepanjang sumbu tunggal dan dirancang untuk membimbing tingkat kerohanian ke atas dan lebih dekat ke gunung yang dianggap sakral. Simbolis pusat atau tempat perlindungan utama dari kompleks ini adalah Pura Penataran Agung dan takhta teratai atau Padmasana adalah pusat simbolis tempat suci utama dan fokus kegiatan ritual dari seluruh kompleks. Bagian ini diperkirakan dibangun sekitar abad ketujuh belas. Pura terbesar di dalam kompleks adalah Pura Penataran Agung yang didedikasikan untuk Siwa, Pura Kiduling Kreteg, mewakili Brahma, Sang Pencipta, dan Pura Batu Madeg, mewakili Wisnu, sang Pemelihara. Tiga manifestasi Tuhan yang dikenal sebagai Tri Murti. Serangkaian letusan Gunung Agung pada tahun 1963, yang menewaskan sekitar orang juga mengancam Puru Besakih. Aliran lava mengelilingi kompleks Pura hanya beberapa meter dari Pura. Penyelamatan Pura dianggap oleh masyarakat Bali sebagai keajaiban, dan sebuah sinyal dari para dewa yang ingin menunjukkan kekuatan mereka, tetapi tidak menghancurkan monumen yang telah didirikan oleh masyarakat Bali tersebut. Setiap tahun paling tidak terdapat tujuh puluh upacara agama yang diselenggarakan di kompleks Pura Besakih, karena setiap tahun terdapat perayaan tahunan hampir di setiap tempat suci. Siklus tahunan ini didasarkan pada siklus 210 hari, sistem kalender Bali, Wuku. Sejarah Pura Besakih Pura Besakih adalah gugusan 86 buah pura. Kompleks Pura Besakih terdiri atas 18 buah pura umum, 4 pura Catur Lawa, 11 pura pedharman, 6 pura non-pedharman, 29 pura dadia, 7 pura berkaitan dengan pura dadia dan 11 pura lainnya. Sebelum Pura Besakih berdiri megah seperti sekarang, dahulu kawasan itu berupa hutan belantara. Binatang buas masih banyak hidup di sana. Ketika itu juga belum ada Selat Bali yang kini dikenal dengan nama Segara Rupek. Daratan Bali dan Jawa dahulu kala konon masih menjadi satu, belum terpisahkan laut. Itulah sebabnya, daratan ini Bali dan Jawa sering disebut Pulau Dawa. Nama itu diberikan mungkin lantaran daratan ini panjang. Sebagaimana kita ketahui, kata ā€œdawaā€ berarti panjang. Alkisah, sebagaimana dituturkan dalam Lontar Markandeya. Berikut ini diuraikan secara ringkas nama-nama pura di kawasan Besakih. Sesuai dengan namanya, pura ini berfungsi sebagai tempat pesimpangansinggah setelah umat kembali dari Melasti di Segara Klotok, Klungkung. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Anggara Keliwon Julungwangi. Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung, dengan ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan laut. Di pura ini distanakan Bhatari Durga. Seusai menggelar Pitra Yadnya yaitu Ngaben dan Memukur atau Ngeroras, umat Hindu biasanya tangkil ke pura ini, mendak nuntun Sang Pitara untuk distanakan di sanggah ataupemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat tanah lapang yang dinamakai Tegal penangsaran. Disitu ada sebuah tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Kliwon Ugu, sedangn setiap tahun pada sasi Kepitu penanggal 1,3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Didalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menrima pewarah-warah atau sabda dari Bhatara Durga tentang upacara Eka Dasar Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain-lainnya. Untuk mengetahui sejarah berdirinya, ada sejumlah sumber yang pernah diteliti. Menurut Lontar Padmabhuwana ada disebutkan, "Nihan mulaning andhaping pulo Bali ring ulana, katama tekaning mangke, ma wit duk ilahi 85, tatkala nira hi haji candrabhaya umadeg ratujumeneng sira ring tampaksiring, irika wangun kahyangane ring basukih, makadi cungkube ring dalem puri, ika purane katih, rvmaga puseh miwah dalem, maka huluning bumi bali. Ikang makalingga cinandi ring parhyangan ring basukih, tan hana waneh sira paduka bhatara sanghyang anthaliwaditya, bapa akasa, metu sira saking pancaksara, umungguh ring tehnging padmabhuwana, makaksara YANG witning akasa. Muwah ikang makalinggasthana cungkub dalem puri, strata sanghyangning basukih, hyang Iiwagni, ibu pertiwi, wetu sira saking pancabrahma, umungguh ring jero padmabhuwana, makaksara ING mawitning ibuprtiwi." "Inilah asal mulanya Pulau Bali pada zaman dahulu, yang berada sampai sekarang, dimulai ketika tahun 1085 Ƈaka II63 M, ketika itu beliau raja Ƈri Candrabhaya menjadi raja dan berkeraton di Tampaksiring, ketika itu berdirilah Pura Besakih, dan sebagai Pura Setra adalah Pura Dalem Puri, kedua pura itu berwujud Puseh dan Dalem, sebagai pemujaan bumi Bali. Yang dilinggihkan di Pura Besakih, tiada lain adalah beliau Bhatara Sanghyang AnthaƧiwaditya, Haji Akasa. Beliau muncul dari pancaksara nang, mang, sing, wang, yang, bersthana di pusatnya bagian atas urdhah dari padmabhiiwana, diwujudkan dengan wijaksara YANG yaitu asalnya akasa. Selanjutnya yang bersthana di Pura Setra Dalem Puri, beliau adalah juga Bhatara di Besakih, Hyang Ƈiwagni, Ibu Prtiwi, beliau muncul dari pancabrahma sang, bang, tang, ang, ing, bersthana di dalam padmabhuwana, berwujud wijaksara ING yaitu asalnya Ibu Prtiwi." Kemudian menurut Majalah Bhawanagara No. 1 Tahun 1930, yang diterbitkan oleh Kirtya Liefrinck van der Tuuk, termuat artikel yang berjudul "Pura Besakih dengan Turutannyaā€ yang ditulis oleh Ida Putu Maron, Lid Raad Kerta di Gianyar. Di dalam artikel itu antara lain disebutkan "Pada zaman purbakala setelah Prabu Mayadanawa, dikalahkan oleh Batara Indra, kira-kira sesudah Sri Empu Kuturan dapat membangunkan beberapa pura di Bali dengan disertai beberapa peraturan desa untuk kegunaan memelihara pura itu, kemudian adalah Ksatrya Utama turunan raja, yaitu Wisnuwangsa-kula dari Daha Jawa Dwipa, bernama baginda Sri Wira Dalem Kesari turun mendatangi Pulau Bali bertakhta raja di Kahuripan bumi Besakih, pamerajannya bernama Pamerajan Selonding, membuat Dalem di Pura Dalem Puriā€. Di bagian lain dari artike itu menyebutkan ā€œPerihal wali di Pura Dalem Puri, pada hari tilem bulan KepituT diadakan selamatan Ngusaba, nama Batara tidak discbutkan, jika menilik mantra pangastawa yang didoakan oleh Padanda-padanda pada ketika Karya Pamelaspas tersebut di atas tanggal 1-2 April 1928 yaitu mandra Durgastawa, jadi kalau begitu teranglah Batari Durga yang didudukkan di situ.*' Bhawanagara, No, 1, 1930, hal 21-23. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Institut Hindu Dharma Denpasar, kedua sumber sekunder ini mempunyai beberapa kelemahan. Lontar Padmabhuwanatersebut mempunyai kelemahan historiografi dan penguraiannya secara mistis, namun hal itu dapat diterima ditinjau dari segi pandangan kosmis, Artikel pada majalahBhawanagara tersebut tidak menunjuk sumber sebagai dasar penulisannya. Kendatipun demikian, namun untuk sementara, sebelum sumber primer dijumpai, maka informasi tersebut di atas perlu diperhatikan. Nama Pura Dalem Puri berarti Pura Dalem Kerajaan, karena pengertian Puri berkaitan dengan raja atau kerajaan. Dengan demikian maka hubungan pura itu dengan raja atau suatu kerajaan, sudab jelas. Namun muncul pertanyaan, raja siapa yang mendirikannya dan untuk apa pura itu didirikan? Di dalam artikel Ida Putu Maron tersebut di atas, disebutkan bahwa Pura Dalem Puri dibangun oleh raja Sri Wira Dalem Kesari. Beliau seorang ksatria dari Daha-Jawadwipa yang bertakhta di Kahuripan bumi Besakih. Istilah Sri Wira Dalem Kessri berani raja yang gagah berani bagaikan singa kata kesari = singa. Sifat singa adalah pemberani, ganas dan mampu mengalahkan binatang lain, sehingga ia merajai binatang pasupati. Sifat berani dan ganas, menunjukkan suatu sifat jaya, sedangkan merajai binatang yang di dalam bahasa Sansekerta disebut pasupati menunjukkan suatu sifat sakti. Dengan analisa ini, maka raja yang bernama Sri Wira Dalem Kesari itu besar kemungkinannya adalah raja Jayasakti yang datang dari Kediri Jawa Timur, karena kata Daha berarti Kediri. Mengenai kedatangan Jayasakti ke Bali, disebutkan di dalam prasasti Sading B tipe tinulad sebagai berikut "IƧaka 1072 cetramasa titi dwadaƧi Ƨukla paksa, tang, ping, 12, warani julungpujut, irika nira paduka Ƨri maharaja jayaƧakti umahemana para senapati makadi rakryanapatih umingsor i tanda rakryan ri pakirakiran inayun alunga mareng banwa ing bangsul, kalawan strinira akadatwana pwa sira aneng gunung adrikarang. Sangkaning turuna sira apan hana pakwaning yayahira sanghyang guru, donya gumawyana dharmma rikang gunung lampuyang, maka karahaywaning jagat bangsul karuhun, iniringaning sawatek mpungku ƧewaƧogata batamantri tumut. Irika sang Ƨri jayaƧakti kanaratwaken dening sarat. Tan kapingging pwa sira rinatwakan apan sira bhawalaksana tekeng aji tan kewran pwa sira dening mohang murkeng citta mwang lobengambek rikeng rat. kabrtyanya tuhu matowang, apan sira ratu cakrawarti, apan sira ratu jayeng bharata, paramartha sira. Hana pwa caranira makadi sabrtya makweh tan kneng winilang, kewalya mantrinira juga hetungen binata kwehnya dwang bangsit katekeng parajurit jawa, inarana pwa sang prabhuraja bima, nga, Ƨri jaya, nga, Ƨri jaya, nga, Ƨri genijayaƧakti…". Turunan prasasti Sading, koleksi Ida Padanda Gede Pamaron di Munggu. "Tahun Ƈaka 1072 1150 M sasih Kasange pananggal 12, wuku Pujut, ketika itu maharaja Jayasakti merapatkan para pimpinan tentara terutama Rakryan Patih dan yang berada di bawah Rakryan Patih; di dalam paruman itu raja Jayasakti berkeinginan pergi mendatangi Pulau Bali, disertai istrinya; membuatlah beliau istana di Gunung Adrikarang. Mengapa beiiau datang ke Bali, karena perintah dari ayah beiiau yang bergelar Bhatara Guru; tujuan beliau membangun tempat pemujaan di gunung Lempuyang, adalah untuk keselamatan bumi Bali kemudian; beliau diiringi oleh segenap pendeta Ƈiwa dan Buddha, juga para menteri ikut mengiringinya. Di sana raja Jayasakti dinobatkan menjadi raja oleh masyarakat. Tidak canggung beliau dijadikan raja, oleh karena beliau cakap dalam pengetahuan, tidak disusahkan oleh pikiran angkara murka serta pikiran loba di masyarakat, para abdinya sungguh-sungguh menghormatinya, oleh karena beliau raja besar, telah berhasil dalam bharata, sempurnalah beliau. Pelayan dan abdinya banyak tidak dapat dihitung, hanya para Menterinya saja yang dihitung banyaknya 400 termasuk tentara Jawa; beliau digelari Sang Prabhu Maharaja Bima, atau Ƈri Bayu, atau Ƈri Jaya, atau Ƈri Genijayasakti…." Menurut penelitian Dr. R. Goris, bahwa masa pemerintahan raja Jayasakti di Bali malahan lebih awal dari tahun 1150 M dan prasasti-prasasti yang berhubungan dengan pemerintahannya di Bali antara lain adalah - Prasasti Manik Liu D 1055 Ƈaka - Prasasti Bwahan C 1068 Ƈaka - Prasasti Prasi A 1070 Ƈaka - Prasasti Campetan 1071 Ƈaka - Prasasti Sading B 1072 Ƈaka Dari isi prasasti-prasasti itu, dapat diketanui bahwa raja Jayasakti berusaha mengendalikan pemerintahan secara teratur di Bali. Dalam beberapa prasastinya, beliau diberi pujian yang berbunyi "kadi sira prabhu suksat harimurti" sebagai raja beliau bagaikan Dewa Wisnu. Ketika beliau memerintah di Bali, di Kediri-Jawa Timur memerintahlah raja Jayabhaya 1135 – 1157 M. Hasil penelilian dari Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978 mengatakan, pengganti raja Jayasakti adalah raja Ragajaya yang memerintah tahun 1155 M. Prasasti raja Ragajaya dijumpai di Desa Tejakula, Buleleng. Di Desa Subaya, Kintamani, juga ditemui prasasti dari raja Ragajaya yang diduga bagian dari prasasti Tejakula. Pengganti raja Ragajaya adalah raja Jayapangus yang memerintah di Bali dari tahun 1177- 1181 M. Menurut uruian pemerintahan raja-raja Bali Kuna hingga sekarang. Jayapangus adalah pengganti Ragajaya, dengan catatan masih terbentang masa kosong selama 22 tahun antara kedua masa pemerintahan raja tersebut. Apabila selama masa kosong itu tidak ada, raja lain yang memerintah, maka dapat diperkirakan bahwa Jayapangus besar kemungkinannya putra dari Ragajaya. Mengapa prasasti dari Ragajaya hanya sebuah? Besar kemungkinannya masa pemerintahannya sangat singkat, karena beliau keburu wafat dan ketika itu Jayapangus masih kecil. Maka terjadilah masa kosong dalam pemerintahan. Jayapangus adalah raja besar di Bali dan beliau bergelar Ƈri Maharaja Haji Jayapangus. Sampai kini telah ditemui 43 buah prasasti yang dikeluarkan oleh Jayapangus. Dalam salah satu prasastinya beliau disebut "…pinaka tapatraning bhuwana satungkeb balidwipa mandala." Masa pemerintahan Jayapangus sangat singkat yaitu hanya 4 tahun dan pengganti beliau mungkin sekali putranya yang bernama Ƈri Maharaja Haji Ekajaya Lancana yang memerintah tahun 1200 M. Prasastinya dijumpai di Kintamani yang dianugrahkan kepada "karaman Cintamani". Nama Ekajaya Lancana berarti memakai tanda Jaya yang tunggal atau Jaya yang murni. Apakah tidak mungkin raja ini yang disebut Ƈri Haji Jayakasunu dalam lontar Jayakasunu ? Kemungkinan itu selalu ada. karena raja Jayapangus pada masa pemerintahannya singkat sekali. Ketika beliau wafat, putranya Ekajaya Lancana masih kecil dan baru dinobalkan menjadi raja pada tahun 1200 M setelah berumur 19 tahun. Setelah Ekajaya Lancana. Bali diperintah oleh raja dinasti lain yang bergelar Ƈri Adukuntiketana. Sayang sekali nania Ƈri Haji Jayakasunu tidak dijumpai di dalam prasasti, namun disebut-sebut dalam pustaka lontar. Dalam lontar Kutara Kandha Dewapurana Bangsul, ada dikemukakan sebagai berikut "…nyata inaweh hhaiara tanayanira makahehan wawu mijil dewata nawasangha, hanuhun sanakira kaheh, inasung pasajnanira swang-swang, kang panghulu sajna sanghyang ghenijayaƧakti. bayuƧakti, jayaƧakti, samangkana pasamodhayaning pasajnanira, tahun mahaƧokti wiƧesaning sarwwa dewata sira. Kunang ikang arinira pasajna sanghyang putrajaya, sanghyang mahadewa pasenggahanira muwah,… Padanda Gede Pamaron, 5b. "…sekarang dianugrahilah sekalian putra Bhatara yaitu Dewata Nawangsangha yang baru muncul, menyembahlah putra beliau sekalian, diberi nama masing-masing, yang sulung diberi nama Sanghyang Ghenijayasakti, Bimasakti, Bayusaksi atau Jayasakti, demikianlah itu semuanya adalah nama beliau, sesungguhnya beliau amat sakti dan saktinya segala dewata. Adapun adik beliau bernama Sanghyang Putrajaya, Sanghyang Mahadewa sebutan beliau yang lain….ā€ Di bagian lain dari lontar itu menyebutkan bahwa Sanghyang Putrajaya menjadi dewa di Gunung Agung. Walaupun keterangan dalam rontal ini bersifat legenda, namun menarik darisegi analisis sejarah. Nama Ghenijayasakti, Bimasaksi, Bayusakti dan Jayasakti ada persamaannya dengan nama-nama yang tersebut dalam prasastra Sading. Selain itu nama Putrajaya mengandung pengertian yang sama dengan nama Jayakasunu, karena kata ā€œkasunuā€ berarti ā€œputraā€. Di dalam lontar Jayakasunu disebutkan bahwa Ƈri Haji Jayakasunu bersamadhi Dawasraya di Pura Dalem Puri. Beliau merasa takut menjadi raja, karena raja-raja sebelumnya umumnya pendek. Di dalam Samadhi itu Ƈri Haji Jayakasunu mendapat pawisik suara gaib dari Bhatari Durga di Pura Dalem Puri, bahwa mengaparaja-raja di Bali sangat pendek umurnya, karena raja-raja itu melupakan merayakan Hari Galungan dan memasang penjor. Atas pawisik itu maka Ƈri Haji Jayakasunu, menghidupkan kembaliperayaan Hari Galungan yang sebelumnya tidak mendapat perhatian dari raja leluhurnya. Beberapa sumber sastra menyebutkan, bahwa perayaan Galungan muncul sejak zaman Kediri dari Jawa Timur. Prasasti Bali Kuna yang dikeluarkan sebelum pemerintahan Ekajaya Lancana, tidak banyak menyebutkan upacara-upacara keagamaan, sedangkan prasasti yang dikeluarkan oleh Ekajaya Lencana banyak menyebutkan upacara-upacara keagamaan. Jika Ekajaya itu benar-benar Jayakasunu yaitu keturunan dinasti Jaya dari Kediri, maka besar kemungkinan bahwa upacara Galungan dikembangkan di Bali oleh raja Ƈri Haji Jayakasunu dengan mengambil tradisi yang berlaku di Kediri Jawa Timur. Berdasarkan keterangan dan pemikiran itu, maka dapatlah diambil kesimpulan, bahwa Pura Dalem Puri didirikan oleh raja Jayasakti yang bergelar Ƈri Wira Dalem Kesari sekitar tahun 1150 M dalam hubungan pembangunan Pura Besakih yang telah diperluas oleh Empu Kuturan, berdasarkan keterangan dalam pustaka rontal Empu Kuturan. Fungsi Pura Dalem Puri dapat disimak dalam lontar Padmabhuwana danJayakasunu yang menyebutkan pawisik Bhatari Durga kepada Ƈri Haji Jayakasunu mengenai pentingnya perayaan Galungan. Keterangan lontar Padmabhuwana bersifat mistis yang memaparkan hubungan Pancaksara dengan Pancabrahma. Yang disebut Pancaksara adalah Nang, Mang, Cing, Wang, Yang. Yang disebut Pancabrahma adalah Sang, Bang, Tang, Ang, Ing. Di dalam cosmos, ING adalah nadir yaitu prtiwi dan YANG adalah zenith yaitu akasa. Di dalam Durgastawa, prtiwi adalah Durga dan di dalam Ƈiwastawa akasa adalah Ƈiwa. Durga berasal dari kata dur artinya sukar dan ga artinya jalan. Durga berarti sulit dijalani atau sulit didekati. Dengan demikian, maka tempat pemujaan beliau disebut Pura Dalem yang artinya tempat suci yang sangat dalam dalam arti esensial. Durga nama lainnya Singhawahini, Kalika, Semasana dan Bhairawi. Ini adalah aspek Ƈiwa dalam krodha. Dalam hal inilah Ƈiwa melakukan praline. Makaitu Pura Dalem di dalam Kahyangan Tiga, selalu berdampingandengan setra. Pura Dalem Puri seperti sudah dikemukakan adalah tempat memuja Dewi Durga yaitu unsur pradhana dari Dewa Ƈiwa yang dipuja di Pura Besakih. Letak Pura Dalem Puri di sebelah barat daya Desa Besakih, memberikan petunjuk pula bahwa pura itu sebagai sthana Dewi Durga. Karena arah barat daya di dalam mistik disebut Krodhadesa yaitu tempatnya Durga atau Rudra. Kenyataan sekarang, bahwa Pura Dalem Puri tidak berdampingan dengan setra melainkan berdampingan dengan Tegal Penangsaran. Mengapa ? Jawabannya adalah bahwa Desa Besakih mempunyai dua buah setra yang letaknya jauh di sebelah utara Pura Dalem Puri dan setra yang satu lagi letaknya di sebelah timur Pura Besakih. Kedua setra itu tidak mempunyai Pura Dalem dan masyarakat Besakih menganggap tidak perlu lagi membuat pura itu karena sudah ada Pura Dalem Puri yang nguwub mewilayahkan kedua setra itu. Dahulu, di Bali ada tradisi bahwa setra untuk keluarga raja terpisah dengan setra untuk masyarakat biasa. Besar kemungkinannya, Tegal Penangsaran di sebelah Pura Dalem Puri, di zaman dahulu adalah setra tempat pabasmian pembakaran jenazah keluarga raja Ƈri Wira Dalem Kesari yang berkeraton di Besakih. Hal itu dibuktikan pula dengan adanya Pamerajan Selonding. Keturunan raja Ƈri Wira Dalem Kesari, berpindah keratin dari Besakih ke tempat lain. Oleh karena itu, setra tempat pabasmiannya tidak ada lagi yang menggunakan, karena rakyat tidak berani memakainya, apalagi sudah mempunyai setra sendiri. Tanah lapang di sebelah timur Dalem Puri disebut Tegal Penangsaran. Istilah Tegal Penangsaran mengingatkan kepada roh-roh manusia yang beristirahat sebelum mmasuki neraka atau sorga. Di sana ada sebuah pohon yang disebut pohon curiga, yang berdaun keris. Apabila ada roh yang memiliki banyak dosa, maka daun pohon itu jatuh dan mengenai anggota tubuh roh yang ada di bawahnya. Ada pula kepercayaan, umat Hindu nunas pitra ke Pura Dalem Puri, setelah selesai melakukan upacara Pitrayadnya Ngaben. Konon, roh dari keluarga mereka yang diabenkan itu patut dimohon ke Pura Dalem Puri untuk dilinggihkan di sanggah/pamerajan. Mengapa ada kepercayaan semacam ini, sukar diketahui, karena hal itu didasarkan keterangan dari balian takson maluasang. Sebelum diketahui sumber sastranya, maka suatu asumsi dapat diambil, bahwa adanya kepercayaan mamendak atau nunas pitra ke Dalem Puri yang dilakukan oleh beberapa keluarga di Bali, mungkin pada mulanya, leluhurnya yang menggelar Pitra Yadnya ngiring raja/keluarga raja Ƈri Wira Dalem Kesari yang melakukan upacara Pitra yadnya di Dalem Puri. Pura Dalem Puri adalah bagian tak terpisahkan dari Pura Besakih, baik mengenai fungsinya maupun mengenai pendiriannya, karena raja Jayasakti yang bergelar Ƈri Wira Dalem Kesari memperbesar Pura Besakih dengan pura-pura yang menjadi bagiannya. Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri Saktinya Siwa. Piodalannya pada hari Saniscara Keliwon Wariga Tumpek uduh. Di pura ini distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih, Hyang Naga Sesa dan Hyang Naga Taksaka. Piodalannya pada hari Buda Pon Watugunung. Di pura inilah konon Manik Angkeran dihidupkan kembali setelah beberapa lama wafat akibat kesalahannya hendak mencuri emas yang ada di ekor Hyang Naga Basukih. Manik Angkeran dihidupkan, berkat permohonan ayahnya yaitu Empu Sidhi Mantra. Selanjutnya Manik Angkeran agar mengabdikan hidupnya di Besakih dan tidak diperkenankan kembali ke Jawa. Agar tidak bisa pulang kembali, Empu Sidhi Mantra memotong Pulau Dawa dengan tongkat sakitnya. Sejak itulah, daratan di sebelah timur disebut Bali dan daratan di sebelah barat disebut Jawa. Di pura ini distanakan Hyang Mahadewa. Di sana ada sebuah kulkul dan sangat dikeramatkan. Dahulu, setiap desa atau banjar membuat kulkul, kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar memiliki taksu, yaitu ditaati oleh krama desa atau karma pemaksan pura. Piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan. Saat upacarayadnya, semua bangunan pelinggih yang terdapat didalamnya dihias dengan serba kuning. Pura ini sering dihubungkan dengan tradisi yang menganggap bahwa pura itu merupakan bekas merajan dari seorang raja yang hidup pada zaman Bali Kuno yakni Sri Wira Dalem Kesari. Keraton raja itu diduga terletak di sebelah selatan Pura Merajan Selonding. Sri Kesari Warmadewa, seorang raja BaliKuno yang diperkirakan menurunkan raja-raja di Bali Kuno yang dikenal dengan dinasti Warmadewa. Salah seorang diantaranya adalah Udayana yang memerintah di Bali sekitar tahun 989-1022M. Di pura ini ditemukan gambelan selonding. Sedangkan di Pura Selonding yang terletak di Desa Pecatu Badung tidak pernah ditemukan gambelan selonding. Kedua pura ini diduga memiliki kaitan erat. Dugaan tersebut didasarkan pada struktur bangunan dan pelinggih di Pura Selonding, dimana bangunan pokok yang dianggap sebagai pelinggih utama adalah linggih untuk pemerajan Ratu Gede Cakra Sari. Nama itu mungkin perubahan dari Ratu Gede Cakra Kesari yang dapat dihubungkan dengan Sri Wira Dalem Kesari. Jika ini benar, maka Pura Selonding Pecatu mempunyai latar belakang sejarah yang sama dengan pura Merajan Selonding Besakih sehingga dapat diduga bahwa kedua pura tersebut berasal dari zaman pemerintahan Sri Kesari Warmadewa yang memerintah di Bali sekitar tahun 825 Ƈaka. Istana atau puri Dalem Kesari Warmadewa di Besakih diberi nama Bumi Kuripan. Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini. Demikian pula seperangkat gamelan Selonding. Dalam Lontar Catur Muni-Muni ada dituturkan asal mulanya tabuh gamelan di Bali. Dikisahkan, Bhagawan Naradha mengajarkan para pertama menabuh gamelan dengan gamelan selonding. Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Resi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradhatapa. Piodalan di pura merajan Selonding dilangsungkan pada hari Wraspati Keliwon Warigadian. Pura Gua merupakan tempat pemujaan Hyang Naga Basuki. Dahulu kala, konon Dang Hyang SIdhimantra tiap ke Besakih, mempersembahkan empehan susu, madu dan telur kepada Hyang Naga Basuki. Ditempat inilah Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki, sehingga putra Sidhimantra itu dibakar jadiabu. Akantetapi Manik Angkeran dihidupkan lagi setelah Sidhimantra Ayah Manik Angkeran dapat memasang kembali ekor Naga Basuki lantaran tergiur dengan emas berlian yang menyala di ekor naga. Menurut tutur tua-tua di sana, gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung. Hal itu diketahui secara kebetulan. Suatu hari masyarakat menggelar sabungan ayam di Gua Lawah. Salah seekor ayam lari masuk ke gua. Setelah dikejar, ayam itu keluar di gua Besakih. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu. Di pura sini distanakan BhataraSri dan hari piodalannya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu. Di sebelah timur pura ini, agak ke selatan, dahulu terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian hasil sawah druwe Pura Besakih. Namun kemudian, lumbung itu rubuh. Lumbung itu berfungsi sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih. Kata ā€œpenginih-inih berasal dari kata ā€œinihā€œ yang artinya irit. Jadi maksudnya, umat memohon agar dalam pengelolaan harta kekayaan dapat dilakukan seekonomis atau seefisien mungkin. Letak pura ini, di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara Rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memuliakan Empu Bradah dan Bhatara Indra. Adapun piodalannya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau Tumpek Kerulut. Menurut informasi dari orang-orang tua di Besakih, konon pura ini bekas merajan. Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih. Pura Hyang Haluh Jenggala Pura Jenggala sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan segala Kahyangan Prajapati. Mengapa disebut demikian ? Mungkin karena di sebelah selatan pura ini, ada setra kuburan. Tapi ada yang mengatakan, pura ini merupakan bekas pertapaan tokoh spiritual Mpu Kulputih. Dalam cerita disebutkan, Mpu Kulputih bertapa untuk mohon petunjuk, bagaimana cara melawan kelaliman Raja Mayadenawa yang melarang umat melangsungkan upacara yadnya di Besakih. Mpu Kulputih akhirnya mendapat petunjuk, yakni agar mohon bantuan ke Jambudwipa India. Sementaraitu, Bhatara Indra juga turun dan membasmi Mayadenawa. Tafsiran lain, ada yang mengatakan pura Jenggala juga merupakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker. Di pura ini terdapat beberapa patung batu kuno menyerupai seorang resi, garuda dan berbagai bentuk lainnya. Patung yang disakralkan, dibuatkan pelinggih. Di pura ini Danghyang Markandeya menanam pedagingan pancadatu lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya. Letak pura ini, di kaki Pura Penataran Agung yaitu di sebelah kanan tangga kalau kita sedang menaiki tangga Pura Penataran Agung. Pura ini memiliki pelinggih induk berupa meru tumpang pitu. Perlu juga diketahui, Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga didesa-desa, yaitu Pura Puseh, Pura Desadan Pura Dalem. Dari kelengkapan pelinggih-pelinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, menunjukkan bahwa pura Basukihan itu adalah Pura Puseh Jagat, Pura PenataranAgung berfungi sebagai Pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat. Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki. Hari Piodalannya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa pura ini adalah tempat pesamuaning bhatara kabeh pertemuan semua bhatara. Mungkin karena itulah, Pura Penataran Agung merupakan yang terbesar dan terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di Besakih. Pura Batu Madeg letaknya di belah utara Penataran Agung. Pura ini cukup luas, banyak memiliki palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah berupa meru tumpang 11, stana Hyang Wisnu. Piodalan di pura ini dilangsungkan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima. Palinggih-palinggih di Pura antara lain 1. Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktra. Konon para pejuang kemerdekaan banyak yang bersamadhi di palinggih ini. Bebaturan linggih Bhatara Batudinding. Gedong palinggih Bhatara Pujungsari. Meru tumpang 11 palinggih Bhatara Manik Bungkah. Meru tumpang 11 palinggih BhataraBagus Babotoh. Meru tumpang II palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg Hyang Wisnu. Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila membuat empelan bendungan besar dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekeringan. Meru tumpang 9 Pelinggih Bhatara Manik Buncing. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh prati sentananya keturunannya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya. Bale Tegeh Palinggih Lingga. Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum di hadapan Hyang Wisnu. Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur. Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri yaitu di Bale Pelik bagian Timur. Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar. Bila melangsungkan karya agung di Pura Besakih demikian pula pengaci di Pura Batu Madeg, semua palinggih yang terdapat di pura ini dihias dengan warna serba hitam, sesuai dengan warna Dewa Wisnu. Pura Batu Kiduling Kreteg Pura Kiduling Kreteg, terletak di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Pelinggih pokoknya yakni Meru tumpang 11 stana Hyang Brahma. Selain disebut Pura Kiduling Kreteg, pura ini juga kadang-kadang disebut Pura Dangin Kreteg. Sebutan itu muncul mungkin karena pandangan yang berbeda, jika dilihat dari Pura Penataran Agung. Ada yang menganggap, pura ini berada di sebelah timur kreteg jembatan dan ada pula yang memandang di sebelah selatan kreteg jembatan. Memang bias dimaklumi, karena Pura Besakih menghadap agak miring ke arah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu, Badung. Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih memang disebut Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi predana dan Pura Besakih Purusa. Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan. Sedangkan Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah upacara untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Saat upacara di pura ini, semua pengangge pelinggih berwarna merah sesuai dengan warna Dewa Brahma. Pura Gelap berada di dataran yang agak tinggi. Pelinggih pokok di pura ini berupa meru tumpang 3, sebagai stana Hyang Iswara. Selain itu, ada juga sebuah Padma, Palinggih Siwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama Sasih dengan namanya Aci Pengenteg Jagat, umat memohon agar diberi ketenangan, kedamaian dunia. Tiap karya, semua penganggedi pura ini berwarna serba putih, sesuai dengan warna Dewa Iswara. Di pura ini, berdiri pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Pura ini letaknya di sebelah utara Pura Penataran Agung. Di sini terdapat pelinggih pokk meru tumpang 11 di samping balegong, bale pelik, piyasan. Di antara pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan paling tinggi. Masyarakat bisa mempersembahkan haturan-nya ke puncak Gunung Agung melalui Pura Pengubengan ini. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu. Letak pura ini tidak jauh dari Pura Pengubengan, yaitu di sebelah timurnya. Di pura ini terdapat sumber tirtha yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung didesa pekraman, atau di merajan. Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu. Diberi nama Batu Peninjoan, karena di pura inilah Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjaditempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya. Dari pura yang memiliki sebuah meru tumpang 9 ini, Empu Kuturan merencanakan pembangunan dan memperluas Pura Besakih. Ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, berdasarkan aturan Asta Kosala Kosali sampai sekarang masih dijadikan pedoman oleh umat Hindu. Setelah wafat, beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan. Beliau distanakan di meru tumpang 9 di pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti Padangbai-Karangasem. Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di PUra Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas. Selain meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan dilangsungkan pada hari Wraspati Wage Tolu. Pura Besakih Tempat Penguasa Semua Penjuru Dunia Pura Besakih sebagai sentral, memiliki banyak legenda, serta mitologi lisan maupun tertulis. Sastra sejarah seperti babad, usana dan purana cukup banyak mengungkap hal itu. Tokoh Hindu yang juga rajin menggeluti sastra daerah, Ida Bagus Agastia dalam sebuah tulisannya mengatakan, Rsi Markandeya disebut-sebut sebagai orang suci pertama kali menanam panca datu sebagai dasar Pura Besakih. Pura ini memiliki perjalanan panjang, pada perkembangannya kini menjadi pusat bagi masyarakat Bali. Cerita pengabdian penuh bakti dari Sang Kulputih, seorang juru sapuh di Besakih, bias disimak dalam lontar Sangkulpinge. Yang juga memiliki nilai sejarah adalah usaha-usaha Mpu Kuturan yang kemudian dikenal sebagai pendiri Pura Sad Kahyangan di Bali. Berikutnya, Mpu Bharadah pandita Kerajaan Airlangga yang merupakan saudara kandung Mpu Kuturan, melanjutkan kembali penataan Pura Besakih. Sebuah prasasti yang dinamai Mpu Bharadah yang disimpan di Pura Batu Madeg Besakih, memuat tahun Saka 929 1007 M. Tahun itu diduga masa kedatangan Mpu Bharadah di Besakih. Berikutnya kehadiran Dang Hyang Nirartha Dang Hyang Dwijendra sebagai pandita Kerajaan Gelgelzaman Raja Dalem Waturenggong—juga besar peranannya dalam menata kemali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Termasuk kemudian menata kembali Pura Besakih dan tata upacaranya. Dang Hyang Dwijendra pernah menyarankan Raja Waturenggong untuk menggelar upacara Eka Dasa Rudra di Besakih, sekalian dengan runtutan upacaranya sebagaimana kini kita warisi. Jika mengikuti langsung pelaksanan upacara besar di Besakih seperti Eka Dasa Rudra tiap 100 tahun atau tawur sepuluh tahunan Panca Walikrama, barulah akan bisa diketahui secara simbolis bahwa Besakih adalah madyaning bhuwana sentralnya dunia sebagai tempat pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya kekuatannya yang menguasai semua penjuru dunia, yakni Iswara,Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambhu. Ini sesuai dengan konsep pengider-ider bhuwana. Persembahyangan Dimulai di Pura Manik Mas Untuk bersembahyang ke Pura Besakih, sesungguhnya ada tata caranya. Selain didasari kesucian lahir-batin, persembahyangan dimulai dari Pura Manik Mas. Setelah itu, barulah ke pura lain. Tujuannya, menurut sejumlah sumber agar pendakian spiritual lebih berhasil. Ibarat menaiki tangga, meski pendakian dimulai dari bawah. Dahulu, saat masih zamah kerajaan, raja-raja di Bali pun, yang sembahyang ke Pura Besakih selalu berhenti dan menambatkan kudanya didekat Pura Manik Mas. Lalu raja diikuti keluarga atau pengiringnya berjalan kaki sembahyang dari Pura Manik Mas. Setelah itu, barulah persembahyangan dilanjutkan ke atas. Umat pun kini dihimbau agar melakukan tata cara itu, meskipun banyak jalan sudah bias dilalui untuk menuju pura di atas. Usai sembahyang dengan tujuan mohon izin anugraha tangkil di Pura Manik Mas, barulah ke pura pedarman. Berikutnya sesuai tujuan penangkilan, apakah ke pura yang termasuk caru loka pala empat pura yang memiliki palebahan besar mengelilingi Pura Penataran Agung. Catur loka pala itu, yakni Pura Kiduling Kreteg, Pura Batu Madeg, Pura Gelap dan Pura Ulun Kulkul. Pura Besakih Hulunya Bali Selain sebagai sentral, Pura Besakih juga merupakan pura kahyangan jagat yang memiliki kedudukan paling utama di Pulau Bali. Dalam Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali Rajya. Artinya, Pura Besakih sebagai hulunya derah Bali atau jiwanya Pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di sebelah timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung dan arah munculnya matahari sebagai symbol kehidupan. Gunung symbol sumber mata air dantimur adalah arah terbitnya matahari. Tanpa air dan sinar matahari,tak ada tumuh-tumuhan dan makhluk lainnya yang bias bertahan hidup. Sedangkan tumbuh-tumuhan adalah sumber makanan bagi hewan dan manusia. Ini berarti, arah Pura Besakih adalah sumber kesuburan dan kemakmuran daerah Bali. Pelinggih yang paling utama di Pura Besaih menurut tokoh Hindu di Bali, Drs. I Ketut Wiana, adalah Padma Tiga. Di pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besaih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu Tuhan dalam kemahakuasaan-Nya menjiwa Tri Bhuwana. Sang Hyang Para Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwaSwah Loka. Sang Hyang Sada Siwa yakni Tuhan yang menjiwai Bhuwah Loka dan Sang Hyang Siwa Tuhan yang menjiwai Bhur Loka. Tujuan pemujaan Sang Hyang Tri Purusa ini dinyatakan dalam kutipan Wrehaspati Tatwa yang intinya memajukan kehidupan spiritual umat Hindu. Pelinggih Pada Tiga ini berada di mandala kdua Penataran Agung Besakih. Penataran Agung Besakih ini dibagi menjadi tujuh mandala. Mandala pertama sampai kedua sebagai gamaran proses bakti umat manusia pada Tuhan. Sedangkan mandala kedua sampai ketujuh sebagai gambaran proses Tuhan mengaruniai sweca umat-Nya yang bhakti itu. Jadi, di Padma Tiga itu dilukiskan bertemunya bhakti kelawan sweca. Dalam Wrehaspati Tattwa Sloka 11 dinyatakan bahwa Padmasana itu adalah bangunan suci sebagai media memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Siwa. Dalam kompleks Pura Besakih ini Tuhan juga disimbolkan wyapi wyapaka berada di mana-mana yang diwujudkan dalam bentuk pura. Di timur Pura Gelap, di selatan pura Kiduling Kreteg, di barat Pura Ulun Kulkul, di utaraPura Batu Madeg dan ditengah Padma Tiga. Kelima kompleks pura ini berada di areal yang disebut luhuring ambal-ambal. Pura Ulun kulkul meskipun berada di areal soring ambal-ambal, menurut Wiana, tergolong para luhuring amal-ambal karena sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Mahadewa. Di kompleks Pura Besakih ini alam semesta dilukiskan dalam berbagai dimensi sacral. Ada kompleks pura tergolong berada di areal luhuring ambal-ambal, symbol Sapta Loka atau alam Dewata. Ada juga kompleks pura yang berada di areal yang disebut soring ambal-amal yaitu alam bawah sebagai symbol Sapta Petala. Titik sentral luhuring ambal-ambal adalah di Meru Tumpang Lima dimandala ketiga PenataranAgung yang disebut Pelinggih Kehen. Sedangkan titik sentral soring ambal-ambal yaitu di Pelinggih Gedong berada di Pura MerajanSlonding. Di areal luhuring ambal-ambal terdapat bangunan suci sebagai media memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan Sang Panca Dewata. Di soring ambal-ambal pelinggih yang paling utama adalah Pura Dalem Puri, Pura Manik Mas, Pura Bangun Sakti, Pura Basukian, Pura Pengubengan, Pura Rambut Sedana, Pura Goa Raja, Pura Jenggala dan Pura Peninjoan. Tuhan yang menjiwai alam atas disimbolkan di pura luhuring ambal-amal. Sedangkan yang menjiwai alam bawah disimbolkan di pura soring ambal-amal. Keberadaan Pura Besakih memvisualisasikan hubungan manusia dengan Tuhan, dengan sesame manusia dan dengan alam semesta berdasarkan ajaran agama Hindu Veda. PuraDalem Balingkang memiliki sejarah dan asal-usul dari berbagai versi, yang menghubungkan keberadaan raja Jaya Pangus dengan kehidupan seorang wanita atau puteri dari Cina, kisah tersebut menjadi cerita menarik tentang akulturasi budaya Hindu dan Budha. Pura Dalem Balingkang terletak di Desa Pinggan, Kecamatan Kintamani, Kab.
Pura Dalem Puri di Rendang Karangasem Bali adalah salah satu tempat wisata yang berada di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Pura ini terletak jauh di selatan Pura Penataran Agung. Wisata Pura Dalem Puri di Rendang Karangasem Bali ini diistanakan Bhatari Durga. Dahulu Pura Dalem Puri ini disebut Pura Dalem Kedewatan. Umat Hindu seusai mengadakan Upakara Pitra Yadnya, yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini untuk mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sebelah Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang disebut Tegal Penangsaran, ditunggui sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu. Di dalam pura inilah sejarahnya Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra, Tawur Kesanga, Galungan, Kuningan dan lain – lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih. Karakteristik Bangunan Wisata Pura Dalem Puri di Rendang Karangasem Bali memiliki pesona keindahan yang sangat menarik untuk dikunjungi. Sangat di sayangkan jika anda berada di kota Karangasem tidak mengunjungi Wisata Pura Dalem Puri di Rendang Karangasem Bali yang mempunyai keindahan yang tiada duanya tersebut. Pelaksanaan Upacara/Piodalan Umat Hindu seusai mengadakan Upakara Pitra Yadnya, yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini untuk mendak dan Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu, sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu.
SejarahPura Dalem Puri terdapat dalam salah satu lontar tertua yaitu lontar padma bhuana..Dimana dalam lontar ini menjelaskan awal mula adanya pulau bali da Ilustrasi Sejarah Pura Besakih. Sumber UnsplashBerada di tempat yang tinggi, Pura Besakih dipandang sebagai sesuatu yang dari buku Jalan-jalan Bali oleh Maria Ekaristi dan Agung Bawantara, Pura Besakih merupakan kompleks pura yang terdiri dari satu buah pura utama dan 18 pura pendamping. Kompleks ini menjadi pusat dari semua pura di Bali dengan letak berada 70 kilometer dari bagaimana sejarah dari Pura Besakih?Sejarah Pura BesakihIlustrasi Sejarah Pura Besakih. Sumber UnsplashBerdirinya Pura Besakih bermula ketika Rsi Markandeya, sang penyebar agama Hindu di Bali, bertapa di Gunung Hyang. Ketika bersemedi itulah beliau mendapat perintah untuk mendirikan merabas hutan di timur Pulau bisikan tersebut membuat Rsi Markandeya segera menuju ke tempat tersebut bersama orang pengiringnya. Perabasan segera dilakukan namun harus berhenti karena banyak pengiring yang sakit dan Markandeya pun kembali bersemedi serta menggelar upacara. Beliau memendam kendi dengan isi pancadatu, yaitu tembaga, perunggu, emas, besi, dan perak yang disertai air, mirah adi, dan perabasan tidak mengalami hambatan yang berarti dan berhasil diselesaikan. Hasil dari perabasan dibagikan kepada pengikut untuk dijadikan tegal, perumahan, dan sawah. Wilayah tersebut yang diberi nama Desa Basuki dan kini dikenal dengan Pura BesakihDi wilayah pura besakih terdiri dari kumpulan beberapa pura, yaituPura Batu Kiduling KretegArti Pura BesakihPura Besakih menjadi simbol dari alam semesta yang terdiri dari Luhuring Ambal-ambal alam atas dan Soring Ambal-ambal alam bawah.Adapun pura yang termasuk ke dalam Luhuring Ambal-ambal adalah Pura Pesimpangan, Pura Bangun Sakti, Pura Manik Mas, Pura Goa Raja, Pura Merajan Selonding, Pura Rambut Sedana, Pura Dalem Putri, Pura Besukian, Pura Banua, Pura Jenggala, dan Pura Merajan pura yang termasuk ke Soring Ambal-ambal adalah Pura Batu Madeg, Pura Penataran Agung Besakih, Pura Gelap, Pura Ulun Kulkul, Pura Kiduling Kreteg, Pura Peninjoan, Pura Pengubengan, Pura Pasar Agung, dan Pura itu dia sekilas penjelasan mengenai sejarah Pura Besakih yang menyimpan banyak makna.LAU SE7b.
  • tilddil9j4.pages.dev/181
  • tilddil9j4.pages.dev/449
  • tilddil9j4.pages.dev/562
  • tilddil9j4.pages.dev/454
  • tilddil9j4.pages.dev/358
  • tilddil9j4.pages.dev/502
  • tilddil9j4.pages.dev/456
  • tilddil9j4.pages.dev/438
  • sejarah pura dalem puri besakih